Prof. Dr. Hj. Ratu Atut Chosiyah, SE, MBA, MSi, MSc

Prof. Dr. Hj. Ratu Atut Chosiyah, SE, MBA, MSi, MSc
Prof. Dr. Hj. Ratu Atut Chosiyah, SE, MBA, MSi, MSc

Arsip Menteri Seo Dan Prof. Dr. Hj Ratu Atut Chosiyah Mensos RI 2014

Arsip Menteri Seo Dan Prof. Dr. Hj Ratu Atut Chosiyah Mensos RI 2014
Dikediaman Prof. Dr. Hj Ratu Atut Chosiyah Mensos RI 2014

Prof. Dr. Hj. Ratu Atut Chosiyah, SE, MBA, MSi, MSc

Prof. Dr. Hj. Ratu Atut Chosiyah, SE, MBA, MSi, MSc
Megawati Soekarnoputri Dan Ratu Atut Chosiyah

Rabu, 14 April 2010

Merdeka dari Korupsi atau Mati: Dr. Hendra Kusuma (Alumni ITB 75)



SAYA ingin mengawali tulisan ini dengan menegaskan beberapa hal. Pertama, perang melawan korupsi harus dilaksanakan kini. Tidak punya pilihan lain. Bila proses reformasi ingin melahirkan negara demokrasi, korupsi harus dihabisi.

Edgargo Buscaglia dan Maria Dakolias dalam An Analysis of the Causes of Corruption in the Judiciary mengatakan, perang melawan korupsi adalah tugas utama yang harus diselesaikan di masa reformasi. Mustahil, mereformasi suatu negara jika korupsi masih merajalela.

Kedua, korupsi adalah sumber bencana dan kejahatan, the roots of all evils. Koruptor relatif lebih berbahaya dibanding teroris. Uang trilyunan rupiah yang dijarah koruptor, adalah biaya hidup-mati puluhan juta penduduk miskin Indonesia.

Dalam konteks ini, koruptor adalah the real terrorists. Mustahil memberantas kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan, mempertinggi mutu pendidikan dan lainnya, bila korupsi masih dibiarkan menari di depan mata. Karena itu, kebijakan mencabut subsidi dan menaikkan harga di satu sisi, dan memberi release and discharge kepada potensi koruptor di sisi lain adalah-meminjam istilah Presiden Megawati-kebijakan njomplang, jauh dari menyelesaikan akar masalah.

Ketiga, melawan korupsi adalah perang melawan mafia koruptor yang amat solid di semua lini. Di lembaga legislatif, kegagalan melawan korupsi tercermin dari terus bertenggernya tervonis korupsi menjadi Ketua DPR. Itu bukti DPR sarang koruptor. Sebab, nyaris semua politisi di DPR melakukan hipokrisi politik ketika melawan korupsi di tubuhnya sendiri.

Di lembaga eksekutif, representasi prokebijakan korupsi disandang presiden. Tidak tegasnya presiden menonaktifkan Jaksa Agung MA Rahman yang telah diindikasi melakukan korupsi oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), adalah pengkhianatan pada perang melawan korupsi. Keluhan Megawati atas banyaknya putusan pengadilan yang membebaskan pelaku korupsi, adalah keluhan njomplang. Tanpa menertibkan perilaku korup jajaran kejaksaan, dengan pertama-tama menonaktifkan jaksa agung, presiden sedang mendukung rutinitas pembebasan koruptor yang dikeluhkan.

Di lembaga yudikatif, representasi korupsi disandang semua pelaku mafia peradilan. Banyak hakim, pengacara, dan polisi adalah koruptor bertopeng senyum penegak hukum. Maka, kasus korupsi hakim akan hilang di dewan kehormatan hakim, kepolisian atau pengadilan. Kasus suap advokat akan hilang di dewan kehormatan advokat. Praktik judicial corruption adalah bukti telah berkhianatnya aparat penegak hukum dari fungsi seharusnya sebagai lawan korupsi nomor satu, menjadi kawan dan pelaku korupsi nomor wahid.

BERDASAR tiga argumentasi itu, saya ingatkan lagi Ketetapan MPR yang menegaskan, korupsi adalah "kejahatan yang luar biasa", karena itu aparatur pemerintahan, terutama aparat penegak hukum dan penyelenggara negara yang melakukan korupsi harus diproses secepatnya dan dihukum berat.

Namun, hanya sampai Ketetapan MPR itulah, tingkat apresiasi saya atas perangkat hukum korupsi. Karena, untuk mengalahkan mafia korupsi, penegakan hukum yang konservatif harus ditinggalkan. Semua peraturan perundangan tindak pidana korupsi, hingga yang terakhir tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, sudah tidak cukup untuk melawan korupsi. Selain aneka peraturan yang relatif baik, harus diterapkan penegakan hukum yang progresif dan revolusioner. Yaitu, penegakan hukum yang memotong lama dan berbelitnya hukum acara korupsi. Penegakan hukum progresif-revolusioner harus berpijak pada kesimpulan bahwa menyerahkan kasus korupsi kepada proses peradilan konvensional adalah omong-kosong. Sebab, pelaku proses peradilan konvensional kebanyakan koruptor juga.

Dalam konteks ini, saya menghargai terwujudnya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, tetapi tetap berpendapat, masih diperlukan proses lebih progresif-revolusioner guna memerangi mendarah-dagingnya korupsi di Indonesia.

Penegakan hukum progresif-revolusioner yang saya usulkan terbagi dua tahap. Pertama, masih memberi kesempatan terakhir kepada negara. Untuk itu saya mengusulkan lembaga forum previlegiatum khusus korupsi dihidupkan. Inilah lembaga hukum yang menjadikan MA sebagai lembaga pemutus pertama dan terakhir kasus korupsi. Konsep MA sebagai forum previlegiatum bukan barang lama dan asing. Konsep ini sudah pernah diadopsi Pasal 106 UUD Sementara 1950.

Namun, karena MA sendiri tidak bersih dari praktik judicial corruption, maka mandat ini baru diberikan setelah selesainya proses seleksi hakim agung yang kini dilakukan DPR. Dengan kontrol terus-menerus dari pejuang antikorupsi, harus diupayakan agar momentum pengisian kali ini berhasil melahirkan hakim-hakim agung yang mempunyai komitmen pemberantasan korupsi, sekaligus membersihkan MA. Lebih jauh, untuk memperlancar tugas MA sebagai forum previlegiatum kasus korupsi, saya mengusulkan, dalam proses fit and proper test nanti sekaligus dipilih hakim-hakim yang berspesialisasi menyidangkan kasus korupsi.

Selanjutnya, untuk mengiringi tugas forum previlegiatum MA, saya mengusulkan agar pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera dilaksanakan. KPK-lah yang mengambil alih seluruh tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dari tangan kejaksaan. Suatu amanat hukum yang sudah tepat. Namun, jika proses pembentukan KPK masih lama, maka saya mengusulkan KPKPN yang sementara melaksanakan fungsi dan kewenangan KPK itu.

BERDASAR pendapat bahwa koruptor relatif lebih berbahaya daripada teroris, maka jika untuk menghadapi teroris pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu), maka untuk korupsi perlu dikeluarkan Perpu Antikorupsi. Di dalamnya, memberi wewenang MA untuk menjadi forum previlegiatum dan mandat kepada KPKPN guna menjalankan fungsi dan wewenang KPK.

Ke depan, untuk menambah kekuatan hukum Perpu Antikorupsi-yang secara hukum tata negara merupakan bentuk hukum yang problematik-saya usulkan agar materi perpu diangkat menjadi materi konstitusi. Sudah saatnya kita mencontoh Thailand yang menempatkan semangat pemberantasan korupsi, termasuk National Counter Corruption Commission-nya, di dalam konstitusi.

Namun, jika usulan pertama tidak juga dilaksanakan cepat dan konsekuen, maka demi strategi melawan korupsi, saya memberikan usulan kedua. Yaitu, dibentuknya Pengadilan Ad Hoc Korupsi di luar institusi negara. Artinya, mandat penegakan hukum korupsi dicabut dari seluruh institusi konvensional hukum lalu diberikan kepada kelompok-kelompok yang masih punya kemurnian perjuangan melawan korupsi. Dalam konteks ini, pengadilan rakyat seperti di Desa Keboromo yang mengadili langsung perilaku korup aparat desanya (Kompas, 25/1/2003) dapat dijadikan model pengadilan korupsi oleh rakyat.

Lembaga-lembaga yang selama ini lantang melawan korupsi, dan relatif bersih dari praktik korupsi, seperti KPKPN atau Indonesia Corruption Watch (ICW) dapat menjadi pelaksana pengadilan rakyat tingkat nasional. KPKPN atau ICW, ditambah tokoh-tokoh masyarakat yang berintegritas tinggi antikorupsi, diusulkan menjadi dua lembaga yang berfungsi semacam forum previlegiatum dalam perkara-perkara korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara. Inilah pengadilan ad hoc korupsi oleh rakyat sebagai protes mandulnya pengadilan korupsi oleh negara.

Saya sadar betul, tentu akan terjadi rivalitas antara pengadilan konservatif-kolutif negara dengan pengadilan progresif-revolusioner rakyat. Ini tidak menjadi masalah. Biarkan rakyat yang menilai siapa yang benar-benar memperjuangkan pemberantasan korupsi. Yang jelas, perang melawan korupsi harus terus dikobarkan sampai titik darah penghabisan. Jika di masa revolusi kemerdekaan dulu ada semboyan perjuangan: merdeka atau mati. Maka, di masa gerakan melawan korupsi sekarang pantas dikobarkan pekikan "Merdeka dari korupsi, atau Mati!"


Oleh: Denny Indrayana

*Denny Indrayana, Dewan Etik Indonesian Court Monitoring, Kandidat Doktor Hukum University of Melbourne

Pengikut